BAB II
MUNASABAH AYAT DI DALAM AL-QUR’AN
- Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munāsabah berasal dari kata ((نَاسَبَ
– يُنَاسِبُ – مُنَاسَبَةً yang artinya dekat (qarib). Al-munāsabah
artinya sama dengan al-qarabah yang berarti mendekatkan dan juga al-musyākalah
(menyesuaikan). Sementara kata al-nasibu menurut al-Zarkasyi (w. 794 H) sama
artinya dengan al-qaribu al-muttasil (dekat dan bersambungan).
Pengertian munāsabah secara terminologi
menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut :
a. Menurut Ibn ‘Arabiy (w.1240 M/ 638 H)
munāsabah adalah koherensi atau hubungan ayat-ayat Al-Qur`an antara suatu
bagian dengan lainnya, sehingga bagaikan satu kalimat yang maknanya harmonis
dan strukturnya yang rapi.
b. Menurut Al-Biqa’i (w.1480M/ 885 H)
munāsabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan
bagian-bagian al-Qur’an baik ayat atau surat dengan surat.
c. Menurut Az-Zarkasyi (w. 794 H) munāsabah
adalah merupakan usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar
ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa munāsabah ialah pengetahuan yang mempelajari berbagai hubungan
(relevansi) antara ayat atau surat dalam al-Quran. Jadi, dalam konteks 'Ulum
Al-Quran, munāsabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat,
baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional ('aqli), persepsi
(hissy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebabakibat, 'illat
dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu tanasub
al-ayat wa al-suwar, atau ta'alluq (pertalian) atau irtibath (pertalian) atau
al-ittiṡal dan al-ta'lil, yang artinya juga sama, ilmu yang menjelaskan
persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengna ayat atau surat yang lain.
- Sejarah Munculnya
Ilmu munāsabah
Sejarah munculnya kajian tentang munāsabah
tidak terjadi pada masa Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau
empat abad setelah masa beliau. Hal ini berarti bahwa kajian ini bersifat
ijtihady (pendapat para ulama). Oleh karena itu, keberadaannya tetap sebagai
hasil pemikiran manusia (para ahli Ulumul-Qur’an) yang bersifat relatif,
mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sama halnya dengan hasil
pemikiran manusia pada umumnya, yang bersifat relatif (ḍanny).
Meskipun keberadaannya mengandung nilai
kebenaran yang relatif, namun dasar pemikiran tentang adanya munāsabah dalam
al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang bersifat absolut. Yaitu suatu prinsip,
bahwa tartib (susunan) ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kita lihat sekarang
adalah bersifat tauqify yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah
berdasarkan petunjuk dari Allah (wahyu), bukan susunan manusia. Atas dasar
pemikiran inilah, maka sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya
berupa susunan yang sangat teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah)
yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, secara sistematis tentulah dalam
susunan ayat-ayat al-Qur’an terdapat korelasi, keterkaitan makna (munāsabah)
antara suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya. Karena itu pula,
sebagaimana ulama menamakan ilmu munāsabah ini dengan ilmu tentang
rahasia/hikmah susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an.
Asy-Syatibi (w. 790 H.) menjelaskan bahwa
satu surat, walaupun dapat mengandung banyak topik pembicaraan namun
topik-topik tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi
hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak
demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
Tentang masalah ilmu munāsabah di kalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada
relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa
hubungan itu tidak selalu ada. Tetapi sebagian besar ayatayat dan surah-surah
ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa mudah mencari
hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari
hubungan antara suatu surat dengan surat lainnya.
Muhammad Izaah Darwazah (w. 1984)
mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat dengan ayat
atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya. Tetapi
kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada hubungan
antara satu dengan yang lain.
- Cara mengetahui munāsabah
Dalam meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munāsabah) al-Quran diperlukan ketelitian dan pemikiran
yang mendalam. Terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk
menemukan munāsabah ini, yaitu:
1)
Mengetahui
susunan kalimat dan maknanya.
Imam al-Suyuthi (w.1445 M/ 849 H) memberikan penjelasan bahwa harus
ditemukan dahulu apakah ada huruf ‘athaf (لَكِنْ – لَا – بَلْ – أَمْ – أَوْ – حَتَّى –
ثُمَّ – فَ – وَ) yang
mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan penguat, penjelas ataupun
pengganti bagi bagian yang lainnya. Apabila terdapat sesuatu yang dirangkaikan
maka di antara keduanya mempunyai sisi yang bersatu seperti firman Allah :
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ
وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ
وَهُوَ الرَّحِيْمُ الْغَفُوْرُ
Artinya: ”Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang
turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang
lagi Maha Pengampun”. (QS. Saba’[34]: 2)
2)
Mengetahui
maudhu’ atau topik yang dibicarakan.
Subhi al-Shalih mengatakan, bahwa pada satu surat terdapat tema
(maudhu’) yang menonjol, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian dalam
ayat-ayat yang saling bersambungan dan berhubungan. Ukuran wajar atau tidaknya
persesuaian ayat yang satu dengan yang lain, atau surat yang satu dengan surat
yang lain, dapat diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudhu’ itu.
Jika persesuaian itu mengenai hal yang sama dan ayat-ayat yang terakhir suatu
surat terdapat kaitan dengan ayat-ayat permulaan surat berikutnya, maka
persesuaian yang demikian itu adalah masuk akal dan dapat diterima. Akan tetapi
apabila mengenai ayat-ayat atau surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya
dan tentang hal-hal yang tidak sama, maka sudah tentu tidak ada munāsabah
antara ayat-ayat dan surat-surat itu.
3)
Mengetahui
asbāb al-Nuzul.
Yakni sebab-sebab turunnya ayat-ayat mengenai satu topik di dalam
sebuah surat dengan topik yang sama pada surat yang lain. Kesamaan topik
tersebut dapat dilihat dari latar belakang historis turunnya ayat. Melalui
pengetahuan terhadap Asbāb alNuzul ayat akhirnya dapat memberikan kontribusi
dalam menemukan munāsabah antara ayat dan antara surat dalam al-Qur’an.
- Bentuk-bentuk dan Contoh Munāsabah
Para ulama tafsir mengelompokkan munāsabah ke dalam dua kelompok
besar, yaitu hubungan dalam bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam
bentuk keterkaitan makna (kandungan) ayat atau surat.
Menurut Quraish Shihab, paling tidak, ada enam jenis munāsabah
yang bisa ditemukan dalam Al-Qur`an,
yakni pada:
a.
Hubungan
kata demi kata dalam satu ayat
Munāsabah ini terjadi karena antara bagian-bagian Al-Qur`an tidak
ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya,
bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang
dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang
lain. Hal tersebut baru tampak ada hubungan yang ditandai dengan huruf ‘aṭf,
sebagai contoh, terdapat dalam al-Qur`an Surah al-Gāsyiyah [88] ayat 17-20:
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(١٧)
وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(١٨)
وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(١٩)
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(٢٠)
Artinya:
(17) Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan
(18) dan langit, bagaimana ia ditinggikan
(19) dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan
(20) dan bumi bagaimana ia dihamparkan
b.
Hubungan
antara kandungan ayat dengan fāṣilah
(penutup ayat)
Dalam satu surat terdapat korelasi
antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qaṣaṣ dimulai dengan
kisah nabi Musa dan Fir’aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat tersebut
menggambarkan pernyataan Allah agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi
orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah.
c.
Hubungan ayat dengan ayat berikutnya
Hubungan antara ayat pertama
dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam
surat Al-Mu’minūn, ayat 1 yang berbunyi “qad aflaḥa al-mu’minūn” lalu di bagian
akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yufliḥu al-kāfirūn”. Ayat pertama
menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua
tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.
Munāsabah antar ayat ini juga
dijumpai dalam contoh pada al-Qur`an Surah Al Baqarah [2] : 45 terdapat kata Al
Khāsyi’īn yang kemudian di jelaskan pada
ayat berikutnya yang memberi informasi tentang maksud dari kata Al Khāsyi’īn
tersebut :
وَاسۡتَعِيۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَالصَّلٰوةِ ؕ
وَاِنَّهَا لَكَبِيۡرَةٌ اِلَّا عَلَى الۡخٰشِعِيۡنَۙ
الَّذِيۡنَ يَظُنُّوۡنَ اَنَّهُمۡ مُّلٰقُوۡا
رَبِّهِمۡ وَاَنَّهُمۡ اِلَيۡهِ رٰجِعُوۡنَ
Artinya : Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk (45) (yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (46)
d. Hubungan mukadimah satu surat dengan
surat berikutnya
Misalnya antara surat al-Fātiḥah dan
surat Al-Baqarah. Dimana dalam surat alFātiḥah berisi tema global tentang
akidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan dalam surat Al-Baqarah
berisi penjelasan yang lebih rinci dari isi surat Al-Fātiḥah.
e. Hubungan penutup satu surat dengan
mukaddimah surat berikutnya
Misalnya permulaan surat Al-Ḥadīd [57]: 1 dengan penutupan surat Al Wāqi’ah
[56]: 96 memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan
tasbih.
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ
Artinya : “Maka bertasbihlah dengan (menyebut)
nama Rabbmu Yang Maha besar.”
Dengan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ
وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Artinya : ““Semua yang berada di langit dan yang berada
di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
f. Hubungan kandungan surat dengan
surat berikutnya
Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang
bagian-bagian strukturnya terkait secara utuh. Pembahasan tentang
munāsabah antar surat dimulai dengan
memposisikan surat Al-Fātiḥah sebagai Ummul Kitab (induk Al-Qur`an), sehingga
penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (Al-Fātiḥah) adalah sesuai
dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al-Qur`an
Surat Al-Fātiḥah menjadi ummul
kitāb, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum,
yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna
melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat Al-Fātiḥah. Ayat
1-3 surat Al-Fātiḥah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah
karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya
dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat Al-Qur`an. Salah satunya
adalah surat Al Ikhlas yang dikatakan sepadan dengan sepertiga Al-Qur`an. Ayat
5 surat Al-Fātiḥah إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (ه) dijelaskan secara rinci tentang apa
itu jalan yang lurus, di permulaan surat AlBaqarah (1) الٓمّٓۚ (2) ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat Al-Fātiḥah
dan teks dalam surat Al-Baqarah berkesesuaian (ada munāsabah).
- Manfaat
Mempelajari Ilmu Munāsabah
Di antara manfaat mempelajari ilmu
munāsabah ialah sebagai berikut:
a.
Untuk menepis pandangan orang yang menganggap bahwa tema-tema
al-Quran tidak mempunyai hubungan antara satu bagian dengan bagian yang
lainnya.
b.
Mengetahui hubungan antara bagian al-Quran, baik antara
kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang
lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab
al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
c.
Dapat mengetahui ketinggian (keindahan) bahasa al-Quran dan
konteks kalimatkalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta penyesuaian
antara ayat atau surat yang satu dari yang lain.
d.
Dapat membantu menafsirkan ayat-ayat al-Quran setelah diketahui
hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.