Jumat, 14 Oktober 2022

Al-Quran dan Wahyu/X AGAMA/Bahan Ajar/Semester 1

 WAHYU

1. Definisi Wahyu

Kata wahyu dalam bahasa arab ditulis dengan huruf و، ح، ي : وحي yang merupakan bentuk mashdar (infinitive) dari kata auha – yuhi – wahyan . Kata wahyu menyimpan 2 pengertian yaitu : tersembunyi atau al-khafa`, dan cepat atau as-sur’ah. Atau dengan istilah lain yaitu isyarat halus yang cepat (isyarah sar’iyah khafiyyah) . Begitu juga menurut Al-Ashfahani, dalam kitab Gharib Al-Qur’an, bahwa makna awal dari kata wahyu adalah “isyarat yang cepat” (اصل الوحي الإشارة السريعة) . Wahyu secara etomologis sering diartikan sebagai : “permakluman secara samar, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang diinginkan, tanpa diketahui oleh orang lain”. Atau secara singkat bisa diartikan dengan isyarat, sinyal atau ilham.

Dalam kitab Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an karya Manna Al-Qaththan, wahyu didefinisikan dengan “Pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui oleh yang lainnya”

الإعلام الخفي السريع الخاص بمن يوجه إ يه بحيث يخفي على لغيره

Selain secara etimologis, Manna Al-Qaththan juga mendefinisikannya secara terminologis yaitu :

كلام الله تعالى المنزل على نبي من أنبياءه

Artinya : “Firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya.”

Tokoh lain juga mendefinisikan wahyu dalam sudut pandang yang berbeda, seperti Ibn Hajar dalam kitab Fath al- Baari-nya, beliau mendefinisikan wahyu dari sudut pandang fiqih, yaitu :

وَشَرْعًا الإِعْلاَمُ بِالشَّرْعِ وَقَدْ يُطْلَقُ الوَحْيُ وَيُرَادُ بِهِ اسْمُ الْمَفْعُوْلِ مِنْهُ أي الْمُوْحَي وَهُوَ كَلاَمُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ


Artinya : “Secara syar’i, (wahyu) adalah pemberitahuan mengenai syariat. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namun dengan konotasi isim Maf’ûl-nya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.

2. Prosesi Turunnya Wahyu
Sebagaimana telah diketahui bahwa wahyu diartikan sebagai firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya, maka bagaimana proses turunnya wahyu tersebut ?

Dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 51, Allah SWT menjelaskan bagaimana Dia menurunkan wahyu kepada seseorang.

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ

Artinya : "Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura’ : 51)

Dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan perantaraan wahyu adalah melalui mimpi atau ilham. Dan yang dimaksud dengan di belakang tabir ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya sebagaimana yang terjadi kepada Nabi Musa AS. Lalu yang dimaksud dengan rasul atau utusan adalah Malaikat seperti Malaikat Jibîl AS.

Sehingga dari ayat di atas dapat diperoleh kesimpulkan, bahwa ada tiga cara Allah SWT menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi. (1) Melalui mimpi yang benar (ru’ya shâdiqah fi al-manâm); (2) Dari balik tabir (min warâ’ hijâb); (3) Melalui perantaraan Malaikat seperti Malaikat Jibril.

1. Melalui mimpi yang benar (ru’ya shâdiqah fi al-manâm)

Pada metode ini, Allah SWT langsung menyampaikan firman-Nya kepada Nabi dan Rasul-Nya tanpa perantara. Sebagai contoh seperti peristiwa akan disembelihnya Nabi Ismail AS oleh Nabi Ibrahim AS. Nabi Ibrahim AS memperoleh perintah untuk menyembelih putranya (Nabi Ismail AS) melalui mimpi. Seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an Suran Ash-Shaffat ayat 101-112 :

فَبَشَّرۡنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٖ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِينِ وَنَٰدَيۡنَٰهُ أَن يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِي ٱلۡأٓخِرِينَ سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Artinya : “Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. (QS. Ash-Shaffat: 101-112)

2. Dari balik tabir (min warâ’ hijâb);

Di metode kedua ini, juga disampaikan langsung kepada para Nabi dan Rasul, tanpa perantara malaikat. Jadi, nabi atau rasul dapat mendengar langsung firman Allah SWT. Seperti peristiwa pada saat Nabi Musa AS menerima wahyu di gunung Tursina.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 143, dan Surat An-Nisa ayat 164, peristiwa tersebut diabadikan :

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِي وَلَٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِيۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكّٗا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقٗاۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 

Artinya : “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".” (QS. Al-A’raf : 143)

وَرُسُلٗا قَدۡ قَصَصۡنَٰهُمۡ عَلَيۡكَ مِن قَبۡلُ وَرُسُلٗا لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَيۡكَۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا

Artinya: “Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa : 164)

 

3. Melalui perantaraan Malaikat

Dimetode yang ketiga ini, semua orang dipastikan mengetahui. Yaitu Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi dan Rasulnya melalui malaikat, yaitu malaikat Jibril. Adapun malaikat Jibril dalam menyampaikan wahyu kepada para Nabi dan Rasul juga melalui 2 cara, pertama yaitu dengan cara datang kepada Nabi seperti suara dencingan lonceng, kedua yaitu dengan cara menjelma menjadi seorang manusia.

a. Dengan cara seperti dencingan lonceng

Cara pertama ini, dapat dikatakan sebagai cara yang berat. Karena setiap wahyu yang turun dengan cara ini beliau (Nabi Muhammad SAW) akan mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

 

عن أبي هريرة يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا قضى الله الأمر في السماء ضربة الملائكة بأجنحتها خضعانا لقوله كالسلسلة على صفوان (رواه البحاري

Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: “Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (H. R. Bukhâri)

b. Dengan cara malaikat menjelma menjadi manusia

Cara kedua ini, malaikat menjelma menjadi seorang laki-laki lalu datang menyampaikan wahyu kepada Nabi. Cara yang kedua ini lebih ringan dari cara yang pertama, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar, seperti seseorang yang berbicara dengan saudaranya sendiri. Menurut Ibn Khaldûn, sebagaimana telah dikutip oleh Mannâ‘ Al-Qaththân, bahwa pada cara yang pertama atau keadaan yang pertama, Nabi Muhammad SAW melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang bersifat rohani. Sedangkan, pada cara yang kedua ini, malaikatlah yang merubah diri dari yang bersifat rohani semata menjadi manusia yang bersifat jasmani. Cara yang kedua ini, dialami Nabi Muhammad SAW ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu tentang Islam, Iman, dan Ikhsan.

Mengenai dua cara yang dilakukan oleh malaikat Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi Muhammad SAW ini disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah RA.

 

عن عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها ان الحارث بن هشام رضي الله عنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله كيف يأتيك الوحي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أحيانا يأتيني مثل صلصلة الجرس وهو أشده عَلَيَّ فيفصم عني وقد وعيت عنه ما قال وأحيانا يتمثل لي الملك رجلا فيكلمني فأعي ما يقول قالت عائشة رضي الله عنها ولقد رأيته ينزل عليه الوحي في اليوم الشديد البرد فيفصم عنه وإن جبينه ليتفصد عراقا رواه البخاري

 

Artinya : “Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin RA, bahwasanya al-Hârits ibn Hisyâm RA bertanya kepada Rasulullah SAW. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana datang wahyu kepada engkau?”. Rasulullah SAW menjawab: “Kadang-kadang datang kepadaku bagaimana gemerincing lonceng dan itulah yang paling berat bagiku. Lalu ia pergi dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan kadang pula Malaikat menjelma di hadapanku sebagai seorang laki-laki lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun memahami apa yag dia katakan. Aisyah RA mengatakan: “Aku pernah melihat beliau tatkala wahyu sedang turun kepadanya, pada suatu hari yang amat dingin. Lalu Malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah SAW.” (H.R. Bukhâri)

 

 

Kamis, 13 Oktober 2022

Ayat Makkiyah dan Madaniyah dalam Al-Quran/ XI AGAMA/Bahan Ajar Semester 1

 

Ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah (2)


2. Mayoritas ayat-ayat Makkiyyah itu pendek-pendek dan mengandung gaya debat yang kuat

Mayoritas ayat-ayat Makkiyyah itu pendek-pendek dan mengandung gaya debat yang kuat, karena kebanyakan orang-orang yang diseru dengan ayat-ayat Makkiyyah adalah tipe orang-orang penentang yang sulit menerima kebenaran, maka diserulah dengan seruan yang sesuai dengan keadaan mereka. Hal ini sebagaimana yang nampak dalam surat Ath-Thur.

Contoh ayat-ayat Makkiyyah ditinjau dari sisi pendek-pendek ayatnya dan mengandung gaya debat yang kuat

Diantara contohnya adalah surat Ath-Thur berikut ini.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

وَالطُّورِ

 

Demi bukit,

وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ

dan Kitab yang ditulis,

فِي رَقٍّ مَنْشُورٍ

pada lembaran yang terbuka,

وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ

dan demi Baitul Ma’mur,

وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِ

dan atap yang ditinggikan (langit),

Mayoritas ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang ayatnya, dan tanpa mengandung gaya debat

Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah, maka kebanyakan ayat-ayatnya panjang, dan disebutkan hukum-hukum Syar’i tanpa adanya gaya bahasa mendebat, karena metode tersebut sesuai dengan keadaan orang-orang yang diseru dengan ayat-ayat Madaniyyah, yaitu Muhajirun. Al-Muhajirun adalah kaum yang tidak sombong, bahkan tunduk kepada Allah, dan beriman kepada-Nya, serta menerima kebenaran.

Sebagai contohnya, bacalah ayat hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.

Contoh ayat Madaniyyah

Di antara contohnya adalah surat Al-Baqarah: 282 tentang utang piutang,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (hutangnya kepada penulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lainnya mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kalian jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kalian. (Tulislah mu’amalah kalian itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kalian lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian. Dan bertakwalah kepada Allah, (niscaya) Allah mengajarkan ilmu kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Penjelasan

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala hanya menyebutkan tentang seputar peraturan hutang piutang, dan arahannya, tanpa adanya kandungan perdebatan, karena kaum yang diseru ketika itu adalah orang-orang yang tunduk dan patuh kepada Allah, dan tidak mendebat kebenaran.

[Bersambung]

Penulis: Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/34822-ayat-ayat-makkiyyah-dan-madaniyyah-2.html

I'jaul Quran /XI AGAMA /Bahan Ajar Smester 1

Pengertian I’jaz Al-Qur'an 

 

Kata mukjizat berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata a’jaza, bentuk masdarnya adalah i’jaz. A’jaza memiliki beberapa arti, diantaranya melemahkan, yang meniadakan kekuatan, yang mstahil tertirukan. Didalam Al-qur’an kata i’jaz digunakan dalam beberapa bentuk sebanyak 25 kali. Dan kata A’jaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa pengertian, diantaranya, “tidak mampu” seperti terdapat daam ayat Al-Maidah: 31 

 

فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ 

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Maidah: 31) 
Dari beberapa bentuk yang ada dapat dikatakan bahwa i’jaz berarti melemahkan.
Sesuatu dapat dikatakan sebagai mukjizat apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 
1. Tidak ada seorangpun selain Allah yang dapat melaksanakannya
2. Diluar dari kebiasaan
3. Merupakan bukti kebenaran
4. Terjadi bersamaan dengan pengakuan seorang utusan Allah dan hanya terjadi pada Rasul Allah, bukan manusia biasa.
Dalam hal ini al-suyuthi membagi mukjizat menjadi da macam, yaitu mukjizat hissi dan mukjizat aqli.

Mukjizat hissi merupakan mukjizat yang dapat digapai melalui panca indera, yang ditujukan kepada manusia biasa yang tidak terbiasa menggunakan kecerdasan pikiran. Misalnya mukjizat Nabi Musa dengan tongkatnya yang ditujukan kepada Bani Israil. Sedangkan mukjizat aqli adalah mukjizat yang tidak mungkin dicapai melalui kekuatan panca indera, tetapi melalui kekuatan akal dengan kecerdasan pikirannya. 
Al-zarqany mengartikan mukjizat al- Qur’an dengan suatu perkara bagi manusia untuk mendatangkan semisal al-Qur’an baik secara individual maupun secara kelompok. Mukjizat dapat juga berrati sesuatu yang keluar dari kebiasaan dan ketentuan sebab-sebab yang diketahui serta diberikan kepada para Nabi untuk memperkuat dakwahnya. 


Menurut Manna’ al-Qaththan yang dimaksud dengan mukjizat dalam al-Qur’an adalah: “sesuatu urusan(hal) yang menyalahi adat kebiasaan , dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau pertandingan dan terbebas dari perlawanan(menang). 


Jadi i’jaz al-Qur’an adalah kekuatan, keunggulan, dan keistimewaan yang dimiliki al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia baik secara terpisah-pisah maupun secara berkelompok, untuk bisa mendatangkan sesuatu yang serupa atau menyamainya, hal ini menunjukkan atas kebenaran Rasulullah didalam mengembangkan misi dakwahnya.

Unsur-Unsur I’jaz

1) Hal atau peristiwa yang luar biasa 

Peristiwa-peristiwa alam, misalnya, yang terlihat hari-hari, walaupun menakjubkan tidak dinamai mukjizat, karena ia merupakan sesuatu hal yang biasa. Yang dimaksud dengan luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya. 


2) Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi 

Tidak mustahil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri siapapun. Namun, apabila bukan dari seseorang yang mengaku Nabi, ia tidak dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi nabi. Ini pun tidak dinamai mukjizat, tetapi irhash. Boleh jadi juga keluarbiasaan itu terjadi pada seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat. Hal seperti ini dinamai karamah atau kekeramatan, yang bahkan tidak mustahil terjadi pada seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir ini dinamai dengan ihanah(penghinaan) atau istidraj(“rangsangan” untuk lebih durhaka). 


3) Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian 

Tentu saja tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Disisi lain, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan seorang Nabi. 


4) Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani 

Apabila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kenukjizatan masing-masing Nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Sebagai mukjizat al-Qur’an mengandung tantangan-tantangan. Dan tantangan itu terdiri atas empat macam tahap, yaitu: 

a. Menantang siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al-Qur’an secara keseluruhan ayat dan surat. Misalnya pada surat Al-Thur: 34 sebagai berikut:
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.” 
b. Menantang untuk menyusun sepuluh surat semacam al-Qur’an, sebagaimana pada Qs Hud ayat 13-14. 

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ 

“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar" 
c. Menantang untuk menyusun satu surat saja semacam al-Qur’an , sebagaimana pada QS Yunus ayat 38:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ 

“Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar". 
d. Menantang untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surat dari al-Qur’an. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 23:

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ 

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Aspek Tinjauan Ulama

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama. Diantara pandangan yang dikemukakan: 
1. Menurut Abu Ishaq Ibrahim An-Nazam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtadha, kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara shirfah(pemalingan). Pandangan ini menjelaskan bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menentang al-Qur’an dan mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untukmenghadapi al-Qur’an. Dengan pemalingan ini maka dikatakan sebagai mukjizat al-Qur’an. Pandangan tentang shirfah seperti ini menurut al-Baqillany adalah pandangan yang salah, karena jika dikatakan mukjizat al-Qur’an melalui shirfah maka kalam Allah bukan mukjizat dan shirfahlah yang mukjizat. Dengan kata ain kalam Allah tidak mempunyai kelebihan atas kalam lain. 
2. Sebagian ulama ada yang mengatakan kemukjizatan al-Qur’an ialah karena gaya bahasanya membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan Umar ibn Khattab yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad saw memutuskan untuk masuk islam karena membaca petikan ayat-ayat al-Qur’an. 
3. Satu kelompok ulama mengatakan mukjzat al-Qur’an terletak pada balaghahnya yang mencapai tingkatan tinggi dan tidak ada bandingannya. Ini adalah merupakan pendapat ahli Bahasa Arab yang gemar terhadap bentuk-bentuk makna. 


4. Sebagian ada yang mengatakan kemukjizatan al-Qur’an adalah terletak pada pemberitaan sesuatu yang ghaib yang akan datang. Yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu. Sebagai contoh tentang jasad Fir’aun yang diselamatkan yang dijadikan sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya, sebagaimna disebut dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 92, peristiwa itu tidak diketahui oleh seorangpun karena terjadi pada tahun 1200 SM, sedangkan Mumi Fir’aun ditemukan pada abad 19 M.
Adapun terhadap kadar kemukjizatan al-Qur’an terdapat beberapa pendapat, antara lain: 
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kadar kemukjizatan al-Qur’an berkaitan dengan keseluruhan isi al-Qur’an, bukan sebagiannya. 
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa kadar kemukjizatan al-Qur’an ada pada sebagian kecil atau sebagian besar dari ayat a-Qur’an, tanpa harus satu surat penuh. Hal ini berdasarkan atas firman Allah QS Ath-Thur ayat 34. Pendapat ini dinisbahkan pada Abu Hasan Al-Asyari. 
3. Sebagian ulama lain ada yang berpendapat bahwa kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surat lengkap sekalipun pendek dengan ukuran satu surat, baik satu ayat atau beberapa ayat.
___________________
[1] Abu Hasan Ahmad ibn Faris, Mu’jam Muqayyis al-Lugat, jilid IV (Mesir:Mustafa al-Babi al-Halabi, 1971), hal.232-233
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuny, al-Tibyan fi uumil quran(Jakarta:Maktabah berkah Utami, t.t)hal. 92
[3] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-Qur’an, jilid IV(Kairo: al-Hai’ah al-Musyriyyah al-Ammahli al-Kitab, 1975), hal. 3
[4] Abd al-Qadir ‘Attha, ‘Adhimah Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyyah, tt.)hlm. 54
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuny, op.cit. hal 105