Selasa, 23 Juli 2024

BAB I (Materi 1) NĀSIKH MANSŪKH DALAM AL-QUR’AN XII AGAMA Sem. 1

BAB I

NASIKH MANSUKH  DALAM AL-QUR’AN

 


1.      Pengertian Naskh

Secara Etimologi Secara etimologi nasakh merupakan bentuk masdar dari kata kerja nasakhayansakhu-naskhan yang berarti  أَلإِزَالَة ( menghapus ). Dalam Al-Qur’an kata Nasakh  memiliki beberapa pengertian, di  antaranya adalah al-izālah artinya menghapus, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Ḥaj [22] 52:

فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Nasakh dapat diartikan juga sebagai al-tabdīl (menukar), seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:


وَاِذَا بَدَّلْنَآ اٰيَةً مَّكَانَ اٰيَةٍۙ وَّاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْٓا اِنَّمَآ اَنْتَ مُفْتَرٍۗ بَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya: “dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” (QS. Al-Naḥl [16], 101.

Selain itu, al-naskhu juga dapat berarti At-Taḥwīl (أَلتَّحْوِيْلَ) artinya “mengubah”,

selain itu juga dapat diartikan sebagai An-Naql (أَلنَّقّلُ) artinya “memindahkan”.

 

2.      Pengertian Naskh secara Terminologi

Menurut al-Zarqāni (w. 1122 H), nasakh secara terminologi memiliki banyak pengertian. Tetapi pengertian yang paling populer dan mendekati kebenaran definisi nasakh adalah:

“mengangkat (menghapus) hukum syar’i dengan dalil syar’i.”

 

Berdasarkan definisi nasakh di atas, dapat kita pahami beberapa hal: 

a.       Nasakh berlaku pada ayat yang mengandung hukum syari’at tidak pada ayat yang menjelaskan hukum akidah.

b.      Dalil yang menasakh (أَنَّاسِخْ)   harus dalil syar’i yaitu Al-Qur’an dan Hadis, bukan dalil aqli (akal).

c.       Dalam nasakh terdapat dua istilah dalil; pertama, dalil hukum syar’i yang menghapus disebut nasikh (أَنَّاسِخْ),kedua, dalil hukum syar’i yang dihapus disebut mansukh  (أَلْمَنْسُوْخْ). Perhatikan contoh berikut:

Artinya: "dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”

Ayat di atas menjelaskan tentang iddah dan nafkah seorang istri yang dicerai mati suaminya berlaku selama satu tahun. Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata bahwa ayat tersebut dinasakah dengan QS: Al-Baqarah [2] 234:

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari…”

3.      Syarat Berlakunya Nasakh

Adapun syarat berlakunya naskh mansukh sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarqāni dalam kitab Manahilu al 'Irfan fi Ulumi al Qur'an adalah sebagai berikut:

a.       Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang berlaku abadi, seperti hukum aqidah;

b.      Dalil yang menasakh ( menghapus ) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli (akal);

c.       Dalil yang menasakh ( menghapus ) datang setelah dalil hukum yang dihapus (tidak datang secara bersamaan); 

d.      Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus) terdapat pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.

4.      Macam-macam Nasakh

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalil syar’i terdiri dari Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian nasakh ada empat macam:

a.       Nasakh Al-Qur`an dengan Al-Qur`an

Syeikh Muhammad Khudhari Beik mengatakan bahwa ulama bersepakat tentang adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat hukum syar’i yang dinasakh dengan ayat lain. Perhatikan contoh berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةًۗ

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

QS. Al-Mujadilah [58]: 12 di atas memerintahkan orang-orang beriman agar memberi sedekah kepada fakir miskin manakala hendak menemui Rasululla Saw. Hukum perintah memberikan sedekah tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ وَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 

b.      Naskh Al-Qur`an dengan Sunnah

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagian ulama mengatakan Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan Sunnah. Sebab mereka menganggap bahwa kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran agama Islam lebih tinggi dari Sunnah. Sedangkan Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas (al-bayān) Al-Qur’an. Semetnara kelompok ulama yang lainnya mengatakan bahwa nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah hukumnya boleh. Argumentasi mereka didasarkan kepada pemahaman bahwa Sunnah sama seperti Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. meski redaski Hadis bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok kedua ini meyakini bahwa praktek nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah terjadi pada QS. Al-Baqarah [2]: 180 tentang kewajiban wasiat kepada orang tua dan kerabat. Menurut pendapat kedua ini ayat tersebut dinasakh dengan hadis:

 

“Sesungguhnya Allah telah memberikan seseorang sesuai dengan haknya, dan tidak ada wasiah bagi ahli waris” (HR. al-Turmudzi)

 

c.       Nasakh Sunnah dengan Al-Qur`an

Hukum yang ditetapkan dengan dalil Sunnah kemudian dinaskh (dihapus) dengan dalil Al-Qur`an.  Contoh: Nabi Muhammad Saw. pernah melakukan salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan. Kemudian Sunnah ini dinasakh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 144;

                        قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”

d.      Naskh sunnah dengan sunnah

Hukum yang ditetapkan dengan Sunnah kemudian dinasakh dengan Sunnah juga. Contohnya: Nabi Muhammad Saw. pernah melarang ziarah kubur. Kemudian hukum larangan tersebut dinasakh menjadi boleh:

“Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarahlah kalian.”

0 comments:

Posting Komentar