BAB
I
NASIKH
MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
1.
Pengertian Naskh
Secara Etimologi Secara etimologi
nasakh merupakan bentuk masdar dari kata kerja nasakhayansakhu-naskhan yang
berarti أَلإِزَالَة ( menghapus ). Dalam Al-Qur’an kata Nasakh memiliki beberapa pengertian, di antaranya adalah al-izālah artinya menghapus,
sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Ḥaj [22] 52:
فَيَنْسَخُ
اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ
عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Nasakh dapat diartikan juga sebagai al-tabdīl
(menukar), seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:
وَاِذَا بَدَّلْنَآ اٰيَةً مَّكَانَ اٰيَةٍۙ وَّاللّٰهُ
اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْٓا اِنَّمَآ اَنْتَ مُفْتَرٍۗ بَلْ اَكْثَرُهُمْ
لَا يَعْلَمُوْنَ
Artinya:
“dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan
kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” (QS. Al-Naḥl [16], 101.
Selain
itu, al-naskhu juga dapat berarti At-Taḥwīl (أَلتَّحْوِيْلَ) artinya “mengubah”,
selain
itu juga dapat diartikan sebagai An-Naql (أَلنَّقّلُ) artinya
“memindahkan”.
2.
Pengertian Naskh secara Terminologi
Menurut al-Zarqāni (w. 1122 H), nasakh secara
terminologi memiliki banyak pengertian. Tetapi pengertian yang paling populer
dan mendekati kebenaran definisi nasakh adalah:
“mengangkat (menghapus) hukum syar’i dengan dalil
syar’i.”
Berdasarkan
definisi nasakh di atas, dapat kita pahami beberapa hal:
a.
Nasakh berlaku pada ayat yang mengandung hukum syari’at tidak pada ayat
yang menjelaskan hukum akidah.
b.
Dalil yang menasakh (أَنَّاسِخْ) harus dalil syar’i yaitu Al-Qur’an dan Hadis, bukan dalil
aqli (akal).
c.
Dalam nasakh terdapat dua istilah dalil; pertama, dalil hukum syar’i
yang menghapus disebut nasikh (أَنَّاسِخْ),kedua,
dalil hukum syar’i yang dihapus disebut mansukh (أَلْمَنْسُوْخْ). Perhatikan
contoh berikut:
Artinya: "dan orang-orang yang akan meninggal
dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya)”
Ayat di atas
menjelaskan tentang iddah dan nafkah seorang istri yang dicerai mati suaminya
berlaku selama satu tahun. Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata bahwa ayat
tersebut dinasakah dengan QS: Al-Baqarah [2] 234:
وَالَّذِيْنَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari…”
3.
Syarat Berlakunya Nasakh
Adapun
syarat berlakunya naskh mansukh sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarqāni dalam
kitab Manahilu al 'Irfan fi Ulumi al Qur'an adalah sebagai berikut:
a.
Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang
berlaku abadi, seperti hukum aqidah;
b.
Dalil yang menasakh ( menghapus ) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli
(akal);
c.
Dalil yang menasakh ( menghapus ) datang setelah dalil hukum yang
dihapus (tidak datang secara bersamaan);
d.
Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus)
terdapat pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.
4.
Macam-macam Nasakh
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalil syar’i
terdiri dari Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian nasakh ada
empat macam:
a.
Nasakh Al-Qur`an dengan Al-Qur`an
Syeikh Muhammad Khudhari Beik mengatakan bahwa ulama
bersepakat tentang adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an
sendiri terdapat banyak ayat hukum syar’i yang dinasakh dengan ayat lain.
Perhatikan contoh berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ
الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةًۗ
Artinya:
“hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”
QS. Al-Mujadilah [58]: 12 di atas memerintahkan
orang-orang beriman agar memberi sedekah kepada fakir miskin manakala hendak
menemui Rasululla Saw. Hukum perintah memberikan sedekah tersebut dinasakh
dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;
ءَاَشْفَقْتُمْ
اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا
وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ وَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
b. Naskh Al-Qur`an dengan Sunnah
Para ulama berbeda pendapat tentang
kebolehan nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagian ulama mengatakan Al-Qur’an
tidak boleh dinasakh dengan Sunnah. Sebab mereka menganggap bahwa kedudukan
Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran agama Islam lebih tinggi dari Sunnah.
Sedangkan Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam kedua yang berfungsi
sebagai penjelas (al-bayān) Al-Qur’an. Semetnara kelompok ulama yang lainnya
mengatakan bahwa nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah hukumnya boleh. Argumentasi
mereka didasarkan kepada pemahaman bahwa Sunnah sama seperti Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah Swt. meski redaski Hadis bersumber dari Nabi Muhammad
Saw. Kelompok kedua ini meyakini bahwa praktek nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah
terjadi pada QS. Al-Baqarah [2]: 180 tentang kewajiban wasiat kepada orang tua
dan kerabat. Menurut pendapat kedua ini ayat tersebut dinasakh dengan hadis:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan seseorang sesuai
dengan haknya, dan tidak ada wasiah bagi ahli waris” (HR. al-Turmudzi)
c. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur`an
Hukum yang ditetapkan dengan dalil Sunnah kemudian
dinaskh (dihapus) dengan dalil Al-Qur`an.
Contoh: Nabi Muhammad Saw. pernah melakukan salat dengan menghadap ke
Baitul Maqdis selama 16 bulan. Kemudian Sunnah ini dinasakh dengan QS.
Al-Baqarah [2]: 144;
قَدْ نَرٰى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”
d. Naskh sunnah dengan sunnah
Hukum yang ditetapkan dengan Sunnah kemudian dinasakh dengan Sunnah juga. Contohnya: Nabi Muhammad Saw. pernah melarang ziarah kubur. Kemudian hukum larangan tersebut dinasakh menjadi boleh:
“Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, maka
sekarang ziarahlah kalian.”
0 comments:
Posting Komentar