Rabu, 24 Juli 2024

BAB I (Materi 2) NĀSIKH MANSŪKH DALAM AL-QUR’AN XII AGAMA Sem. 1

 

BAB I

NASIKH  MANSUKH  DALAM AL-QUR’AN


5.      Bentuk-bentuk Nasakh dalam Al-Qur’an

a.       Dari segi bacaan dan hukumnya, ulama mengklasifikasikan nasakh ke dalam tiga bentuk:

1.      Menghapus bacaan dan hukumnya secara bersamaan

Dalam sebuah riwayat yang datangnya dari Aisyah, beliau berkata:

Artinya: “dahulu termasuk ayat al-Qur`an yang pernah dibaca adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah ayat itu dinasakh Rasulullah Saw. wafat.

Imam Malik berkata bahwa sepuluh kali susuan dinasakh dengan lima kali susuan begitu juga bacaannya. Akan tetapi nasakh tersebut terjadi sesaat sebelum nabi wafat. Sehingga sebagian orang masih tetap membacanya. Namun setelah banyak orang tahu bahwa ayat tersebut dinasakh maka mereka tidak membacanya lagi. Sedangkan lima kali susuan hanya dihapus bacaannya, sedangkan hukumnya tetap berlaku.

2.      Mengapus hukum saja sedangkan bacaannya tetap

Seperti hukum wajib bersedekah saat hendak menemui Nabi Muhammad Saw. dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 12;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

Ayat tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗوَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

3.      Mengapus bacaan sedangkan hukumnya tetap

Contoh bentuk nasakh ketiga ini yaitu:

Artinya: “jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”

Diriwayatkan oleh Ibnu Hazim bahwa Ubay bin Ka’b berkata kepada Zirrin bin Hubaisy, “saya pernah membaca surah al-Ahzab bersama Rasulullah Saw. seperti jumlah ayat dalam surah al-Baqarah, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi kemudian banyak yang dihapus hingga menjadi 73 ayat. Di antara ayat yang dihapus adalah tentang rajam (seperti ayat di atas).”

b.      Dilihat dari segi hukum syara’ yang terdapat dalam dalil syar’i, bentuk nasakh dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua;

1.      Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih ringan

Contoh:

Ibnu Jari ̄r al-Thabari berkata bahwa awal mula Islam datang kebanyakan orang berbuka puasa di bulan Ramadhan sampai masuk waktu salat Isya’. Setelah itu mereka diharamkan makan, minum, bersetubuh hingga malam berikutnya. Setelah mereka mengadu kepada Rasulullah Saw., maka turunlah surah QS. Al-Baqarah [2], 187 dan menasakh hukum pertama:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ

Artinya: “dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar

2.      Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang sebanding

Contoh: 

Hukum solat menghadap ke Baitul Maqdis dihapus (nasakh) dengan QS. AlBaqarah [2]: 144;

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”

3.      Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih berat

Contoh:

Pada awal mula Islam datang, perempuan yang terbukti berzina ditahan dalam rumah hingga menemui ajalnya. Hukuman penahanan ini terdapat dalam QS. AnNisa’ [4], 15;

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ، فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang melakukan perbuatan keji dari perempuan-perempuan kalian, hendaklah terhadap mereka ada empat saksi dari kalian (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah bersaksi maka kurunglah perempuan-perempuan itu di dalam rumah sampai ajal menemui mereka atau sampai Allah memberi jalan (yang lain) kepadanya.”

4.      Mengapus (nasakh) hukum tanpa diganti dengan hukum lain

Contoh:

menghapus hukum perintah bersedekah manakala hendak menemui Nabi Muhammad Saw dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 12; 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً ۗ

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

6.  Cara Mengetahui Nasikh dan Mansyukh

Untuk mengetahui nasikh dan mansyukh, al-Zarqāni menjelaskan beberapa cara sebagai berikut:

a.       Harus ada keterangan di antara dua dalil yang menunjukkan ketentuan dalil yang datang kemudian, seperti QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

 

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗوَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Ayat di atas me-naskh ayat sebelumnya, yakni QS. Al-Mujadilah [58]: 12;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً ۗ

Contoh lain dalam Nabi Muhammad Saw. tentang larangan ziarah kubur yang kemudian dinasakh dengan hukum boleh ziarah kubur;

b.      Harus ada ijma' ulama yang menentukan mana dalil yang datang lebih dahulu dan dalil yang datang kemudian.

c.       Harus ada keterangan yang sah yang menjelaskan dalil mana yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian. Keterangan ini harus bersumber dari data yang valid, seperti riwayat sahabat yang mengatakan “ayat ini diturunkan sebelum ayat ini” atau “ayat ini diturunkan setelah ayat itu,” atau dengan redaksi lain yang menjelaskan waktu turun ayat.

7.      Hikmah Adanya Nāsikh Mansūkh

Di antara hikmah adanya nāsikh mansūkh adalah sebagai berikut:

a.       Meneguhkan keyakinan bahwa Allah Swt. tidak akan terikat dengan ketentuanketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Allah Swt. telah menunjukkan bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak manusia. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah yang Maha menentukan.

b.      Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nāsikh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia.

c.       Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).

d.      Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.

e.       Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.

f.       Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Selasa, 23 Juli 2024

BAB I (Materi 1) NĀSIKH MANSŪKH DALAM AL-QUR’AN XII AGAMA Sem. 1

BAB I

NASIKH MANSUKH  DALAM AL-QUR’AN

 


1.      Pengertian Naskh

Secara Etimologi Secara etimologi nasakh merupakan bentuk masdar dari kata kerja nasakhayansakhu-naskhan yang berarti  أَلإِزَالَة ( menghapus ). Dalam Al-Qur’an kata Nasakh  memiliki beberapa pengertian, di  antaranya adalah al-izālah artinya menghapus, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Ḥaj [22] 52:

فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Nasakh dapat diartikan juga sebagai al-tabdīl (menukar), seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:


وَاِذَا بَدَّلْنَآ اٰيَةً مَّكَانَ اٰيَةٍۙ وَّاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْٓا اِنَّمَآ اَنْتَ مُفْتَرٍۗ بَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya: “dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” (QS. Al-Naḥl [16], 101.

Selain itu, al-naskhu juga dapat berarti At-Taḥwīl (أَلتَّحْوِيْلَ) artinya “mengubah”,

selain itu juga dapat diartikan sebagai An-Naql (أَلنَّقّلُ) artinya “memindahkan”.

 

2.      Pengertian Naskh secara Terminologi

Menurut al-Zarqāni (w. 1122 H), nasakh secara terminologi memiliki banyak pengertian. Tetapi pengertian yang paling populer dan mendekati kebenaran definisi nasakh adalah:

“mengangkat (menghapus) hukum syar’i dengan dalil syar’i.”

 

Berdasarkan definisi nasakh di atas, dapat kita pahami beberapa hal: 

a.       Nasakh berlaku pada ayat yang mengandung hukum syari’at tidak pada ayat yang menjelaskan hukum akidah.

b.      Dalil yang menasakh (أَنَّاسِخْ)   harus dalil syar’i yaitu Al-Qur’an dan Hadis, bukan dalil aqli (akal).

c.       Dalam nasakh terdapat dua istilah dalil; pertama, dalil hukum syar’i yang menghapus disebut nasikh (أَنَّاسِخْ),kedua, dalil hukum syar’i yang dihapus disebut mansukh  (أَلْمَنْسُوْخْ). Perhatikan contoh berikut:

Artinya: "dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”

Ayat di atas menjelaskan tentang iddah dan nafkah seorang istri yang dicerai mati suaminya berlaku selama satu tahun. Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata bahwa ayat tersebut dinasakah dengan QS: Al-Baqarah [2] 234:

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari…”

3.      Syarat Berlakunya Nasakh

Adapun syarat berlakunya naskh mansukh sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarqāni dalam kitab Manahilu al 'Irfan fi Ulumi al Qur'an adalah sebagai berikut:

a.       Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang berlaku abadi, seperti hukum aqidah;

b.      Dalil yang menasakh ( menghapus ) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli (akal);

c.       Dalil yang menasakh ( menghapus ) datang setelah dalil hukum yang dihapus (tidak datang secara bersamaan); 

d.      Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus) terdapat pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.

4.      Macam-macam Nasakh

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalil syar’i terdiri dari Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian nasakh ada empat macam:

a.       Nasakh Al-Qur`an dengan Al-Qur`an

Syeikh Muhammad Khudhari Beik mengatakan bahwa ulama bersepakat tentang adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat hukum syar’i yang dinasakh dengan ayat lain. Perhatikan contoh berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةًۗ

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

QS. Al-Mujadilah [58]: 12 di atas memerintahkan orang-orang beriman agar memberi sedekah kepada fakir miskin manakala hendak menemui Rasululla Saw. Hukum perintah memberikan sedekah tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ وَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 

b.      Naskh Al-Qur`an dengan Sunnah

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagian ulama mengatakan Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan Sunnah. Sebab mereka menganggap bahwa kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran agama Islam lebih tinggi dari Sunnah. Sedangkan Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas (al-bayān) Al-Qur’an. Semetnara kelompok ulama yang lainnya mengatakan bahwa nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah hukumnya boleh. Argumentasi mereka didasarkan kepada pemahaman bahwa Sunnah sama seperti Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. meski redaski Hadis bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok kedua ini meyakini bahwa praktek nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah terjadi pada QS. Al-Baqarah [2]: 180 tentang kewajiban wasiat kepada orang tua dan kerabat. Menurut pendapat kedua ini ayat tersebut dinasakh dengan hadis:

 

“Sesungguhnya Allah telah memberikan seseorang sesuai dengan haknya, dan tidak ada wasiah bagi ahli waris” (HR. al-Turmudzi)

 

c.       Nasakh Sunnah dengan Al-Qur`an

Hukum yang ditetapkan dengan dalil Sunnah kemudian dinaskh (dihapus) dengan dalil Al-Qur`an.  Contoh: Nabi Muhammad Saw. pernah melakukan salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan. Kemudian Sunnah ini dinasakh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 144;

                        قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”

d.      Naskh sunnah dengan sunnah

Hukum yang ditetapkan dengan Sunnah kemudian dinasakh dengan Sunnah juga. Contohnya: Nabi Muhammad Saw. pernah melarang ziarah kubur. Kemudian hukum larangan tersebut dinasakh menjadi boleh:

“Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarahlah kalian.”

Rabu, 11 Oktober 2023

BAB II Munasabah Ayat didalam Al-Qur'an Ilmu Hadis XI Agama. Sem. 1

| Munasban Ayat |

Pengertian Munasabah

Secara etimologi, munāsabah berasal dari kata ((نَاسَبَ – يُنَاسِبُ – مُنَاسَبَةً yang artinya dekat (qarib). Al-munāsabah artinya sama dengan al-qarabah yang berarti mendekatkan dan juga al-musyākalah (menyesuaikan). Sementara kata al-nasibu menurut al-Zarkasyi (w. 794 H) sama artinya dengan al-qaribu al-muttasil (dekat dan bersambungan).

Pengertian munāsabah secara terminologi menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut :

  1. Menurut Ibn ‘Arabiy (w.1240 M/ 638 H) munāsabah adalah koherensi atau hubungan ayat-ayat Al-Qur`an antara suatu bagian dengan lainnya, sehingga bagaikan satu kalimat yang maknanya harmonis dan strukturnya yang rapi.
  2. Menurut Al-Biqa’i (w.1480M/ 885 H) munāsabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui  alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat atau surat dengan surat.
  3. Menurut Az-Zarkasyi (w. 794 H) munāsabah adalah merupakan usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa munāsabah ialah pengetahuan yang mempelajari berbagai hubungan (relevansi) antara ayat atau surat dalam al-Quran. Jadi, dalam konteks 'Ulum Al-Quran, munāsabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional ('aqli), persepsi (hissy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebabakibat, 'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.

Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu tanasub al-ayat wa al-suwar, atau ta'alluq (pertalian) atau irtibath (pertalian) atau al-ittiṡal dan al-ta'lil, yang artinya juga sama, ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengna ayat atau surat yang lain.

Sejarah Munculnya Ilmu munāsabah

Sejarah munculnya kajian tentang munāsabah tidak terjadi pada masa Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau empat abad setelah masa beliau. Hal ini berarti bahwa kajian ini bersifat ijtihady (pendapat para ulama). Oleh karena itu, keberadaannya tetap sebagai hasil pemikiran manusia (para ahli Ulumul-Qur’an) yang bersifat relatif, mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sama halnya dengan hasil pemikiran manusia pada umumnya, yang bersifat relatif (ḍanny).

Meskipun keberadaannya mengandung nilai kebenaran yang relatif, namun dasar pemikiran tentang adanya munāsabah dalam al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang bersifat absolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan) ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kita lihat sekarang adalah bersifat tauqify yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah berdasarkan petunjuk dari Allah (wahyu), bukan susunan manusia. Atas dasar pemikiran inilah, maka sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan yang sangat teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, secara sistematis tentulah dalam susunan ayat-ayat al-Qur’an terdapat korelasi, keterkaitan makna (munāsabah) antara suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya. Karena itu pula, sebagaimana ulama menamakan ilmu munāsabah ini dengan ilmu tentang rahasia/hikmah susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an.

Asy-Syatibi (w. 790 H.) menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak topik pembicaraan namun topik-topik tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.

Tentang masalah ilmu munāsabah di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Tetapi sebagian besar ayatayat dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lainnya.

Muhammad Izaah Darwazah (w. 1984) mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya. Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.

Cara mengetahui munāsabah 

Dalam meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munāsabah)  al-Quran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munāsabah ini, yaitu:

1)      Mengetahui susunan kalimat dan maknanya.

Imam al-Suyuthi (w.1445 M/ 849 H) memberikan penjelasan bahwa harus ditemukan dahulu apakah ada huruf ‘athaf (لَكِنْ – لَا – بَلْ – أَمْ – أَوْ – حَتَّى – ثُمَّ – فَ – وَ) yang mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan penguat, penjelas ataupun pengganti bagi bagian yang lainnya. Apabila terdapat sesuatu yang dirangkaikan maka di antara keduanya mempunyai sisi yang bersatu seperti firman Allah :

يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ الرَّحِيْمُ الْغَفُوْرُ

Artinya: ”Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun”. (QS. Saba’[34]: 2)

2)      Mengetahui maudhu’ atau topik yang dibicarakan.

Subhi al-Shalih mengatakan, bahwa pada satu surat terdapat tema (maudhu’) yang menonjol, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian dalam ayat-ayat yang saling bersambungan dan berhubungan. Ukuran wajar atau tidaknya persesuaian ayat yang satu dengan yang lain, atau surat yang satu dengan surat yang lain, dapat diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudhu’ itu. Jika persesuaian itu mengenai hal yang sama dan ayat-ayat yang terakhir suatu surat terdapat kaitan dengan ayat-ayat permulaan surat berikutnya, maka persesuaian yang demikian itu adalah masuk akal dan dapat diterima. Akan tetapi apabila mengenai ayat-ayat atau surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama, maka sudah tentu tidak ada munāsabah antara ayat-ayat dan surat-surat itu.

3)      Mengetahui asbāb al-Nuzul.

Yakni sebab-sebab turunnya ayat-ayat mengenai satu topik di dalam sebuah surat dengan topik yang sama pada surat yang lain. Kesamaan topik tersebut dapat dilihat dari latar belakang historis turunnya ayat. Melalui pengetahuan terhadap Asbāb alNuzul ayat akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam menemukan munāsabah antara ayat dan antara surat dalam al-Qur’an.

Bentuk-bentuk dan Contoh Munāsabah

Para ulama tafsir mengelompokkan munāsabah ke dalam dua kelompok besar, yaitu hubungan dalam bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam bentuk keterkaitan makna (kandungan) ayat atau surat.

Menurut Quraish Shihab, paling tidak, ada enam jenis munāsabah yang  bisa ditemukan dalam  Al-Qur`an,  yakni pada:

a.       Hubungan kata demi kata dalam satu ayat 

Munāsabah ini terjadi karena antara bagian-bagian Al-Qur`an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Hal tersebut baru tampak ada hubungan yang ditandai dengan huruf ‘aṭf, sebagai contoh, terdapat dalam al-Qur`an Surah al-Gāsyiyah [88] ayat 17-20:

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(١٧)

وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(١٨)

وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(١٩)

وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(٢٠)

Artinya:

(17) Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan

(18) dan langit, bagaimana ia ditinggikan

(19) dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan

(20) dan bumi bagaimana ia dihamparkan


b.      Hubungan  antara kandungan ayat dengan fāṣilah  (penutup ayat)

Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qaṣaṣ dimulai dengan kisah nabi Musa dan Fir’aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah.

c.       Hubungan ayat dengan ayat berikutnya

Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat Al-Mu’minūn, ayat 1 yang berbunyi “qad aflaḥa al-mu’minūn” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yufliḥu al-kāfirūn”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

Munāsabah antar ayat ini juga dijumpai dalam contoh pada al-Qur`an Surah Al Baqarah [2] : 45 terdapat kata Al Khāsyi’īn  yang kemudian di jelaskan pada ayat berikutnya yang memberi informasi tentang maksud dari kata Al Khāsyi’īn tersebut :

وَاسۡتَعِيۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَالصَّلٰوةِ ​ؕ وَاِنَّهَا لَكَبِيۡرَةٌ اِلَّا عَلَى الۡخٰشِعِيۡنَۙ‏

الَّذِيۡنَ يَظُنُّوۡنَ اَنَّهُمۡ مُّلٰقُوۡا رَبِّهِمۡ وَاَنَّهُمۡ اِلَيۡهِ رٰجِعُوۡنَ

Artinya : Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (45) (yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (46)

d.      Hubungan mukadimah satu surat dengan surat berikutnya

Misalnya antara surat al-Fātiḥah dan surat Al-Baqarah. Dimana dalam surat alFātiḥah berisi tema global tentang akidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan dalam surat Al-Baqarah berisi penjelasan yang lebih rinci dari isi surat Al-Fātiḥah.

e.       Hubungan penutup satu surat dengan mukaddimah surat berikutnya

Misalnya permulaan surat Al-Ḥadīd  [57]: 1 dengan penutupan surat Al Wāqi’ah [56]: 96 memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ

Artinya : “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha besar.”

سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ 

Artinya : ““Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

f.       Hubungan kandungan surat dengan surat berikutnya

Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang bagian-bagian strukturnya terkait secara utuh. Pembahasan tentang munāsabah  antar surat dimulai dengan memposisikan surat Al-Fātiḥah sebagai Ummul Kitab (induk Al-Qur`an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (Al-Fātiḥah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al-Qur`an

Surat Al-Fātiḥah menjadi ummul kitāb, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat Al-Fātiḥah. Ayat 1-3 surat Al-Fātiḥah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat Al-Qur`an. Salah satunya adalah surat Al Ikhlas yang dikatakan sepadan dengan sepertiga Al-Qur`an. Ayat 5 surat Al-Fātiḥah إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (ه) dijelaskan secara rinci tentang apa itu jalan yang lurus, di permulaan surat AlBaqarah   (1) الٓمّٓۚ   (2) ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ  Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat  Al-Fātiḥah  dan teks dalam surat Al-Baqarah berkesesuaian (ada munāsabah).


Manfaat Mempelajari Ilmu Munāsabah

Di antara manfaat mempelajari ilmu munāsabah ialah sebagai berikut:

Untuk menepis pandangan orang yang menganggap bahwa tema-tema al-Quran tidak mempunyai hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.

Mengetahui hubungan antara bagian al-Quran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.

Dapat mengetahui ketinggian (keindahan) bahasa al-Quran dan konteks kalimatkalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta penyesuaian antara ayat atau surat yang satu dari yang lain.

Dapat membantu menafsirkan ayat-ayat al-Quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.