Kamis, 08 Agustus 2024

BAB II (Materi 1) KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR'AN XII AGAMA Sem. 1

 

BAB II

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR’AN

1.      Definisi Kaidah Tafsir

Secara bahasa, kaidah merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu  

 قَائِدةbentuk jamaknya قوائدة yang berarti dasar atau asal sesuatu. Dalam QS. Al-Baqarah [2]:127 disebutkan أَلْقَوَئِدَة dengan makna dasar/pondasi

Artinya: “dan (ingatlah), ketika Ibrahim menin ggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui .

" Adapun definisi kaidah tafsir secara terminologi adalah seperangkat aturan yang dapat digunakan dalam istinbaṭ (menggali) makna-makna Al-Qur’an serta bagaimana cara menggunakan kaidah tersebut.

 

2.      Kaidah-kaidah Tafsir Al-Qur’an

Di antara kaidah-kaidah Tafsir Al-Qur’an yang sangat penting untuk kita pahami adalah sebagai berikut:

a.      Penggunaan Kata Ganti (Ḍamīr)  

Damir merupakan pembahasan yang sangat penting dalam kaidah penafsiran Al-Qur’an. Kajian tentang ḍamīr dalam Al-Qur’an telah lama menjadi perhatian para ulama. Ibnul Anbari (w. 328 H) telah melakukan pembahasan yang mendalam tentang ḍamīr-ḍamīr dalam Al-Qur’an. Dari hasil kajiannya tersebut, beliau berhasil menyusunnya dua jilid buku tentang ḍamīr- ḍamīr dalam Al-Qur’an dan diberi nama “al-Ha’at Fi Kitabillah”.

Pembahasan ḍamīr sebagai bagian dari kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an difokuskan kepada beberapa hal:

1)      Kegunaan ḍamīr dalam Al-Qur’an Dalam kitab al-Burhan fi Ulumi Al-Qur’an, al-Syaukāni (w. 250 H) menjelaskan bahwa ḍamīr dalam Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai berikut:

a)      Meringkas bahasa (kata)

Contoh dalam amati QS. Al-Aḥzāb [33]: 35;

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Kata ganti (ḍamīr)  هم dalam Lafal اَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ  menjadi ganti dari dua puluh isim yang disebutkan sebelumnya. Dengan adanya ḍamīr, maka tidak perlu adanya pengulangan kata (pemborosan kata).

b)      Memuliakan madlūl ḍamīr

Madlūl atau marji’ ḍamīr adalah sesuatu yang menjadi tempat kembali ḍamīr. Menurut imam al-Zarkasyi, Madlūl ḍamīr yang telah diketahui oleh banyak orang tidak perlu disebutkan namanya, melainkan cukup dengan menyebutkan sifatnya, seperti ḍamīr sya’n pada QS. Al-Qadr [97]: 1;

 

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan.”

c)      Mencela madlūl ḍamīr Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah [1]: 168;   ِ ات َوُطُ وا خ Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

” Madlūl ḍamīr pada lafal  ُهَّنِ إ kembali kepada setan yang berfungsi untuk mencela.

2)      Madlūl atau Marji’ ḍamīr

Ada beberapa ketentuan ḍamīr ghaibah (kata ganti orang ketiga) terkait dengan keberadaan madlūl/marji’/marja’ ḍamīr yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

a.      Ḍamīr ghāibah kembali kepada madlūl yang disebutkan sebelumnya secara jelas (eksplisit). Al-Zarkasyi mengatakan bahwa ketentuan dasar madlūl adalah disebutkan sebelum ḍamīr ghāibah, sebagaimana dalam QS. Al-Aḥzāb [33]: 35 yang telah disebutkan di atas. Contoh lain adalah QS. Hūd [11] 42:   memanggil puteranya.” b. Ḍamīr ghāibah kembali kepada

b.      Ḍamīr ghāibah kembali kepada madlūl yang disebutkan setelahnya secara jelas (eksplisit). Seperti dalam QS. Thāhā [20]:

c.       Ḍamīr ghāibah kembali kepada madlūl yang disebutkan secara implisit pada kata sebelumnya. Madlūl yang dimaksudkan di sini adalah mashdar yang dita’wil dari fi’il yang disebutkan sebelumnya. Contoh QS. Al-Maidah [5]: 8;