Rabu, 11 Oktober 2023

BAB II Munasabah Ayat didalam Al-Qur'an Ilmu Hadis XI Agama. Sem. 1

| Munasban Ayat |

Pengertian Munasabah

Secara etimologi, munāsabah berasal dari kata ((نَاسَبَ – يُنَاسِبُ – مُنَاسَبَةً yang artinya dekat (qarib). Al-munāsabah artinya sama dengan al-qarabah yang berarti mendekatkan dan juga al-musyākalah (menyesuaikan). Sementara kata al-nasibu menurut al-Zarkasyi (w. 794 H) sama artinya dengan al-qaribu al-muttasil (dekat dan bersambungan).

Pengertian munāsabah secara terminologi menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut :

  1. Menurut Ibn ‘Arabiy (w.1240 M/ 638 H) munāsabah adalah koherensi atau hubungan ayat-ayat Al-Qur`an antara suatu bagian dengan lainnya, sehingga bagaikan satu kalimat yang maknanya harmonis dan strukturnya yang rapi.
  2. Menurut Al-Biqa’i (w.1480M/ 885 H) munāsabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui  alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat atau surat dengan surat.
  3. Menurut Az-Zarkasyi (w. 794 H) munāsabah adalah merupakan usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa munāsabah ialah pengetahuan yang mempelajari berbagai hubungan (relevansi) antara ayat atau surat dalam al-Quran. Jadi, dalam konteks 'Ulum Al-Quran, munāsabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional ('aqli), persepsi (hissy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebabakibat, 'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.

Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu tanasub al-ayat wa al-suwar, atau ta'alluq (pertalian) atau irtibath (pertalian) atau al-ittiṡal dan al-ta'lil, yang artinya juga sama, ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengna ayat atau surat yang lain.

Sejarah Munculnya Ilmu munāsabah

Sejarah munculnya kajian tentang munāsabah tidak terjadi pada masa Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau empat abad setelah masa beliau. Hal ini berarti bahwa kajian ini bersifat ijtihady (pendapat para ulama). Oleh karena itu, keberadaannya tetap sebagai hasil pemikiran manusia (para ahli Ulumul-Qur’an) yang bersifat relatif, mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sama halnya dengan hasil pemikiran manusia pada umumnya, yang bersifat relatif (ḍanny).

Meskipun keberadaannya mengandung nilai kebenaran yang relatif, namun dasar pemikiran tentang adanya munāsabah dalam al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang bersifat absolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan) ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kita lihat sekarang adalah bersifat tauqify yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah berdasarkan petunjuk dari Allah (wahyu), bukan susunan manusia. Atas dasar pemikiran inilah, maka sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan yang sangat teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, secara sistematis tentulah dalam susunan ayat-ayat al-Qur’an terdapat korelasi, keterkaitan makna (munāsabah) antara suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya. Karena itu pula, sebagaimana ulama menamakan ilmu munāsabah ini dengan ilmu tentang rahasia/hikmah susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an.

Asy-Syatibi (w. 790 H.) menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak topik pembicaraan namun topik-topik tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.

Tentang masalah ilmu munāsabah di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Tetapi sebagian besar ayatayat dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lainnya.

Muhammad Izaah Darwazah (w. 1984) mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya. Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.

Cara mengetahui munāsabah 

Dalam meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munāsabah)  al-Quran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munāsabah ini, yaitu:

1)      Mengetahui susunan kalimat dan maknanya.

Imam al-Suyuthi (w.1445 M/ 849 H) memberikan penjelasan bahwa harus ditemukan dahulu apakah ada huruf ‘athaf (لَكِنْ – لَا – بَلْ – أَمْ – أَوْ – حَتَّى – ثُمَّ – فَ – وَ) yang mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan penguat, penjelas ataupun pengganti bagi bagian yang lainnya. Apabila terdapat sesuatu yang dirangkaikan maka di antara keduanya mempunyai sisi yang bersatu seperti firman Allah :

يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ الرَّحِيْمُ الْغَفُوْرُ

Artinya: ”Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun”. (QS. Saba’[34]: 2)

2)      Mengetahui maudhu’ atau topik yang dibicarakan.

Subhi al-Shalih mengatakan, bahwa pada satu surat terdapat tema (maudhu’) yang menonjol, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian dalam ayat-ayat yang saling bersambungan dan berhubungan. Ukuran wajar atau tidaknya persesuaian ayat yang satu dengan yang lain, atau surat yang satu dengan surat yang lain, dapat diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudhu’ itu. Jika persesuaian itu mengenai hal yang sama dan ayat-ayat yang terakhir suatu surat terdapat kaitan dengan ayat-ayat permulaan surat berikutnya, maka persesuaian yang demikian itu adalah masuk akal dan dapat diterima. Akan tetapi apabila mengenai ayat-ayat atau surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama, maka sudah tentu tidak ada munāsabah antara ayat-ayat dan surat-surat itu.

3)      Mengetahui asbāb al-Nuzul.

Yakni sebab-sebab turunnya ayat-ayat mengenai satu topik di dalam sebuah surat dengan topik yang sama pada surat yang lain. Kesamaan topik tersebut dapat dilihat dari latar belakang historis turunnya ayat. Melalui pengetahuan terhadap Asbāb alNuzul ayat akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam menemukan munāsabah antara ayat dan antara surat dalam al-Qur’an.

Bentuk-bentuk dan Contoh Munāsabah

Para ulama tafsir mengelompokkan munāsabah ke dalam dua kelompok besar, yaitu hubungan dalam bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam bentuk keterkaitan makna (kandungan) ayat atau surat.

Menurut Quraish Shihab, paling tidak, ada enam jenis munāsabah yang  bisa ditemukan dalam  Al-Qur`an,  yakni pada:

a.       Hubungan kata demi kata dalam satu ayat 

Munāsabah ini terjadi karena antara bagian-bagian Al-Qur`an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Hal tersebut baru tampak ada hubungan yang ditandai dengan huruf ‘aṭf, sebagai contoh, terdapat dalam al-Qur`an Surah al-Gāsyiyah [88] ayat 17-20:

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(١٧)

وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(١٨)

وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(١٩)

وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(٢٠)

Artinya:

(17) Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan

(18) dan langit, bagaimana ia ditinggikan

(19) dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan

(20) dan bumi bagaimana ia dihamparkan


b.      Hubungan  antara kandungan ayat dengan fāṣilah  (penutup ayat)

Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qaṣaṣ dimulai dengan kisah nabi Musa dan Fir’aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah.

c.       Hubungan ayat dengan ayat berikutnya

Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat Al-Mu’minūn, ayat 1 yang berbunyi “qad aflaḥa al-mu’minūn” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yufliḥu al-kāfirūn”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

Munāsabah antar ayat ini juga dijumpai dalam contoh pada al-Qur`an Surah Al Baqarah [2] : 45 terdapat kata Al Khāsyi’īn  yang kemudian di jelaskan pada ayat berikutnya yang memberi informasi tentang maksud dari kata Al Khāsyi’īn tersebut :

وَاسۡتَعِيۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَالصَّلٰوةِ ​ؕ وَاِنَّهَا لَكَبِيۡرَةٌ اِلَّا عَلَى الۡخٰشِعِيۡنَۙ‏

الَّذِيۡنَ يَظُنُّوۡنَ اَنَّهُمۡ مُّلٰقُوۡا رَبِّهِمۡ وَاَنَّهُمۡ اِلَيۡهِ رٰجِعُوۡنَ

Artinya : Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (45) (yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (46)

d.      Hubungan mukadimah satu surat dengan surat berikutnya

Misalnya antara surat al-Fātiḥah dan surat Al-Baqarah. Dimana dalam surat alFātiḥah berisi tema global tentang akidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan dalam surat Al-Baqarah berisi penjelasan yang lebih rinci dari isi surat Al-Fātiḥah.

e.       Hubungan penutup satu surat dengan mukaddimah surat berikutnya

Misalnya permulaan surat Al-Ḥadīd  [57]: 1 dengan penutupan surat Al Wāqi’ah [56]: 96 memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ

Artinya : “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha besar.”

سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ 

Artinya : ““Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

f.       Hubungan kandungan surat dengan surat berikutnya

Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang bagian-bagian strukturnya terkait secara utuh. Pembahasan tentang munāsabah  antar surat dimulai dengan memposisikan surat Al-Fātiḥah sebagai Ummul Kitab (induk Al-Qur`an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (Al-Fātiḥah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al-Qur`an

Surat Al-Fātiḥah menjadi ummul kitāb, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat Al-Fātiḥah. Ayat 1-3 surat Al-Fātiḥah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat Al-Qur`an. Salah satunya adalah surat Al Ikhlas yang dikatakan sepadan dengan sepertiga Al-Qur`an. Ayat 5 surat Al-Fātiḥah إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (ه) dijelaskan secara rinci tentang apa itu jalan yang lurus, di permulaan surat AlBaqarah   (1) الٓمّٓۚ   (2) ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ  Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat  Al-Fātiḥah  dan teks dalam surat Al-Baqarah berkesesuaian (ada munāsabah).


Manfaat Mempelajari Ilmu Munāsabah

Di antara manfaat mempelajari ilmu munāsabah ialah sebagai berikut:

Untuk menepis pandangan orang yang menganggap bahwa tema-tema al-Quran tidak mempunyai hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.

Mengetahui hubungan antara bagian al-Quran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.

Dapat mengetahui ketinggian (keindahan) bahasa al-Quran dan konteks kalimatkalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta penyesuaian antara ayat atau surat yang satu dari yang lain.

Dapat membantu menafsirkan ayat-ayat al-Quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.



Selasa, 19 September 2023

ULANGAN HARIAN 1


 

Ulangan Harian 1 Ilmu Tafsir

BAB I. Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyah dalam Al-Qur'an | Ilmu Tafsir XI Agama. Sem. 1

 

BAB I

AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN

A.    MARI MEMAHAMI

1.      Pengertian makkiyah dan madaniah

Para ulama mengemukakan tiga perspektif dalam mendefinisikan terminologi makkiyah dan madaniah. Ketiga perspektif itu adalah; masa turun (zamān an-nuzūl), tempat turun (makān an-nuzūl), dan obyek pembicaraan (mukhāthab).

a.       Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :

“Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasulullah hijrah ke madinah, meskipun bukan turun di mekah, dan madaniah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke madinah, meskipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut madaniah walaupun turun di mekah atau di arafah.”

Dengan demikian, QS. An-Nisa’ (4): 58 termasuk kategori madaniah meskipun diturunkan di mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota mekah (fath makkah). Begitu pula, QS. Al-Maidah (5): 3 termasuk kategori madaniah meskipun tidak diturunkan di madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa Haji wada’.

b.      Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :

“Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah, dan hudaibiyyah, sedangkan madaniah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba’ dan Sul’a”

Terdapat celah kelemahan dari definisi di atas, sebab terdapat ayat-ayat tertentu, yang tidak di turunkan di Makkah dan di Madinah dan sekitarnya. Misalnya QS. At-Taubah (9): 42 diturunkan di Tabuk atau QS. Az-Zukhruf (43): 45 yang diturunkan di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam makkiyyah dan madaniah.

c.       Dari objek pembicaraan, makkiyah dan madaniah didefinisikan sebagai berikut :

“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah. Sedangkan madaniah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orangorang Madinah”

Definisi diatas dirumuskan para ulama berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat al-qur’an dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha an-nās” yang menjadi kriteria Makkiyah, dan ungkapan “ya ayyuha al-ladzīna” yang menjadi kriteria madaniah. Namun, tidak selamanya asumsi ini benar. QS. Al-Baqarah (2), misalnya, termasuk kategori madaniah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan ayat 168, yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha an-nās ”. Lagi pula, banyak ayat al-quran yang tidak dimulai dengan 2 ungkapan di atas.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Makkiyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SWT sebelum hijrah ke Madinah, walaupun ayat tersebut turun di sekitar / bukan di kota Makkah, yang pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Makkah. Sedangkan madaniah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya walaupun turunnya di Makkah, dan pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Madinah.

 

2.      Karakteristik makkiyah dan madaniah

Para Ulama’ merumuskan dua pedoman dasar dalam menentukan ayat-ayat makkiyah dan madanaiyah: 1) Metode simā’i naqli (penukilan riwayat). 2. Metode qiyāsi ijtihādi (analogi persamaan).

Metode simā’i naqli didasarkan atas riwayat shahih (naqli) dari para sahabat yang hidup dan yang mempelajarinya pada saat turunnya wahyu itu. Selain itu, juga para tabi’in yang mempelajari Al-Qur’an dari para sahabat dan mendengarnya dari mereka tentang hal-ihwal turunnya wahyu itu. Kebanyakan ayat-ayat yang diturunkan di makkah dan madinah dapat diidentifkasi melalui metode ini. 

Sebagaimana kutipan Jalaluddin As-Suyuti (w.911 H/1505 M) dalam al-Itqān

“Aku mendengar Abu ‘Amr bin al-Ula’ berkata: “Aku bertanya kepada Mujahid tentang ringkasan ayat-ayat madaniah dan ayat-ayat makkiyah, Mujahid menjawab: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang hal tersebut. Ibnu Abbas pun menjawab: Surat Al-An’am itu turun di Makkah dalam sekali turun maka surat tersebut masuk kategori surat makkiyah, kecuali tiga ayat dari surat tersebut yang turun di madinah yaitu ayat hingga (قل تعالوا  أتل) tiga ayat berikutnya.”

Berdasarkan riwayat di atas semua ayat dalam QS. Al-An’am merupakan makkiyah kecuali tiga ayat, yaitu ayat 151 sampai 153 yang mana tiga ayat tersebut turun di Madinah. Penentuan surat/ayat semacam inilah yang menggunakan metode sima’i naqli karena menggunakan sumber riwayat dari sahabat sebagai dasar penentuannya. 

Metode qiyasi ijtihadi merupakan langkah lanjutan dari metode yang pertama, yaitu ketika sudah tiada lagi riwayat yang menjelaskan apakah suatu surat atau ayat termasuk makkiyah atau madaniah. Metode ini didasarkan pada penalaran (aqli) terhadap ciri-ciri khusus yang terdapat pada ayat-ayat makiyyah dan madaniah yang telah diketahui melalui riwayat yang shahih. Kemudian apabila dalam satu surat yang belum teridentifikasi jenisnya terdapat ciriciri yang sama seperti ayat madaniah maka disebut madaniah ataupun sebaliknya. 

Dari metode Qiyasi Ijtihadi inilah kemudian para ulama merumuskan kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan makkiyah dan madaniah.

a.       Ciri-ciri surat makkiyah

1)      Mengandung ayat sajadah QS. Al-A’raf (7): 206, An-Nahl (16): 149, An-Nahl (16): 50, Al-Isra’ (17): 107, Maryam (19): 85, Al-Furqan (25) : 60, Al-Insyiqaq (84): 21, Al-’Alaq (96): 19.

2)      Terdapat lafal kalla pada sebagian besar ayatnya, QS: Al-Humazah (104):

كَلَّا لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِۖ

3)      Terdapat seruan ya ayyuha an-nās, QS. Yunus : 57

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

4)      Mengandung kisah nabi-nabi dan umat-umat yang terdahulu, kecuali  QS.AlBaqarah. Contoh: QS. Al-A’rāf : kisah Nabi Adam dengan iblis, kisah Nabi Nuh dan kaumnya, kisah Nabi Shalih dan kaumnya, kisah Nabi Syu’aib dan kaumnya, kisah Nabi Musa dan Firaun.

5)      Terdapat kisah Adam dan iblis, Contohnya dalam surat Al-A’raf : 11 yang artinya : “sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakan kepada malaikat : bersujudlah kamu kepada Adam. Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.”

6)      Semua atau sebagian suratnya diawali huruf tahajji seperti Qaf (ق) Nun (ن), Kha Mim (  حم.)

Selain ciri-ciri diatas, surat-surat makkiyah juga bisa diidentifikasi melalui tema yang dibicarakan. Antara lain, yaitu:

1). Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kedahsyatannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.

2). Kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu sebagai pengingat tentang akibat orang-orang yang mendustakan ajaran Rasul sekaligus sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad atas perlakuan buruk yang menimpa beliau.

3). Perumusan dasar-dasar hukum syariat dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim, penguburan hiduphidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.

4). Ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya pendek, terdapat kalimat sumpah, nada perkataannya keras dan bersajak.

b. Ciri-ciri surat madaniah

1). Setiap surat yang berisi kewajiban atau had (sanksi pidana yang diatur dalam alQur’an dan hadis).

2). Setiap surat yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab.

3). Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.

Selain ciri-ciri diatas, surat-surat madaniah juga bisa diidentifikasi melalui tema yang dibicarakan. Antara lain, yaitu:

1)  Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk madaniah.

2)  Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukumhukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk madaniah.

3)  Setiap surat yang menjelaskan hal-ihwal orang-orang munafik termasuk madaniah, kecual surat Al-Ankabût yang di turunkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk madaniah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.

4)  Menjelaskan hukum-hukum ‘amaliyyah dalam masalah ‘ubudiyyah dan mu’āmalah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lainlain.

3. Klasifikasi Surat Makkiyah dan Madaniah

Manna’ Al-Qaṭṭan (w. 1999 M) dalam kitabnya berjudul Mabāhits fī Ulūm al-Qurān mengatakan bahwa surat madaniah ada 20 surat. Antara lain yaitu:

1

Al-Baqarah

11

Al-Hujurat

2

Ali-Imran

12

Al-Hadid

3

An-Nisa

13

Al-Mujadalah

4

Al-Maidah

14

Al-Hasyr

5

Al-Anfal

15

Al-Muntahanah

6

At-Taubah

16

Al-Jumu’ah

7

An-Nur

17

Al-Munafiqun

8

Al-Ahzab

18

At-Thalaq

9

Muhammad

19

At-Tahrim

10

Al-Fath

20

An-Nashr

Adapun surat-surat makkiyah berjumlah 82 surat. Sedangkan 12 surat sisanya merupakan surat-surat yang diperselisihkan, apakah masuk kategori makkiyah atau madaniah. Perselisihan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan di kalangan ulama dalam menyikapi perbedaan riwayat tentang status surat tersebut.  Surat-surat yang diperselisihkan itu telah diuraikan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqān sebagai berikut :

1

Al-Fatihah

7

Al-Qadr

2

Ar-Ra’d

8

Al-Bayyinah

3

Ar-Rahman

9

Az-Zalzalah

4

As-Shaff

10

Al-Ikhlas

5

At-Taghabun

11

Al-Falaq

6

Al-Mutaffifin

12

An-Nas

            Selain 3 kategori diatas (Makkiyah, Madaniah dan yang diperselisihkan), para ulama juga menjelaskan tentang berbagai jenis turunnya ayat serta kondisi ketika ayat tersebut diturunkan.  

1.      Ayat-ayat makkiyah dalam surat-surat madaniah.

2.      Ayat-ayat madaniah dalam surat-surat makkiyah.

3.      Yang diturunkan di Makkah namun hukumnya madaniah.

4.      Yang diturukan di Madinah namun hukumnya makkiyah.

5.      Yang serupa diturunkan di Makkah dalam kelompok madaniah.

6.      Yang serupa diturunkan di Madinah dalam kelompok makkiyah.

7.      Yang dibawa dari Makkah ke Madinah.

8.      Yang dibawa dari Madinah ke Makkah.

9.      Yang turun di waktu malam dan di waktu siang.

10.  Yang turun di musim panas dan di musim dingin.

11.  Yang turun di waktu menetap dan perjalanan.

            Penjelasan lebih detail mengenai klasifikasi diatas bisa dirujuk pada kitab Mabahis fī ‘ulūm al-Qur’ān karya Manna’ Al-Qaṭṭan atau kitab-kitab ulūmul qur’ān yang lain. 

4.      Hikmah Mengatahui Surat makkiyah dan madaniah

a.       Manna’ Al-Qaṭṭan dalam bukunya Mabahis fī ‘ulūm al-Qur’ān menerangkan beberapa hikmah mengetahui ilmu makkiyah dan madaniah diantaranya sebagai berikut: Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur`an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang mufassir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu. 

b.      Meresapi gaya bahasa al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah Swt., sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa makkiy dan madaniy dalam al-Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah Swt. yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.

c.       Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode Mekah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan, al-Qur`an adalah sumber pokok bagi kehidupan Rasulullah SAW.