Kamis, 08 Agustus 2024

BAB II (Materi 1) KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR'AN XII AGAMA Sem. 1

 

BAB II

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR’AN

1.      Definisi Kaidah Tafsir

Secara bahasa, kaidah merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu  

 قَائِدةbentuk jamaknya قوائدة yang berarti dasar atau asal sesuatu. Dalam QS. Al-Baqarah [2]:127 disebutkan أَلْقَوَئِدَة dengan makna dasar/pondasi

Artinya: “dan (ingatlah), ketika Ibrahim menin ggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui .

" Adapun definisi kaidah tafsir secara terminologi adalah seperangkat aturan yang dapat digunakan dalam istinbaṭ (menggali) makna-makna Al-Qur’an serta bagaimana cara menggunakan kaidah tersebut.

 

2.      Kaidah-kaidah Tafsir Al-Qur’an

Di antara kaidah-kaidah Tafsir Al-Qur’an yang sangat penting untuk kita pahami adalah sebagai berikut:

a.      Penggunaan Kata Ganti (Ḍamīr)  

Damir merupakan pembahasan yang sangat penting dalam kaidah penafsiran Al-Qur’an. Kajian tentang ḍamīr dalam Al-Qur’an telah lama menjadi perhatian para ulama. Ibnul Anbari (w. 328 H) telah melakukan pembahasan yang mendalam tentang ḍamīr-ḍamīr dalam Al-Qur’an. Dari hasil kajiannya tersebut, beliau berhasil menyusunnya dua jilid buku tentang ḍamīr- ḍamīr dalam Al-Qur’an dan diberi nama “al-Ha’at Fi Kitabillah”.

Pembahasan ḍamīr sebagai bagian dari kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an difokuskan kepada beberapa hal:

1)      Kegunaan ḍamīr dalam Al-Qur’an Dalam kitab al-Burhan fi Ulumi Al-Qur’an, al-Syaukāni (w. 250 H) menjelaskan bahwa ḍamīr dalam Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai berikut:

a)      Meringkas bahasa (kata)

Contoh dalam amati QS. Al-Aḥzāb [33]: 35;

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Kata ganti (ḍamīr)  هم dalam Lafal اَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ  menjadi ganti dari dua puluh isim yang disebutkan sebelumnya. Dengan adanya ḍamīr, maka tidak perlu adanya pengulangan kata (pemborosan kata).

b)      Memuliakan madlūl ḍamīr

Madlūl atau marji’ ḍamīr adalah sesuatu yang menjadi tempat kembali ḍamīr. Menurut imam al-Zarkasyi, Madlūl ḍamīr yang telah diketahui oleh banyak orang tidak perlu disebutkan namanya, melainkan cukup dengan menyebutkan sifatnya, seperti ḍamīr sya’n pada QS. Al-Qadr [97]: 1;

 

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan.”

c)      Mencela madlūl ḍamīr Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah [1]: 168;   ِ ات َوُطُ وا خ Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

” Madlūl ḍamīr pada lafal  ُهَّنِ إ kembali kepada setan yang berfungsi untuk mencela.

2)      Madlūl atau Marji’ ḍamīr

Ada beberapa ketentuan ḍamīr ghaibah (kata ganti orang ketiga) terkait dengan keberadaan madlūl/marji’/marja’ ḍamīr yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

a.      Ḍamīr ghāibah kembali kepada madlūl yang disebutkan sebelumnya secara jelas (eksplisit). Al-Zarkasyi mengatakan bahwa ketentuan dasar madlūl adalah disebutkan sebelum ḍamīr ghāibah, sebagaimana dalam QS. Al-Aḥzāb [33]: 35 yang telah disebutkan di atas. Contoh lain adalah QS. Hūd [11] 42:   memanggil puteranya.” b. Ḍamīr ghāibah kembali kepada

b.      Ḍamīr ghāibah kembali kepada madlūl yang disebutkan setelahnya secara jelas (eksplisit). Seperti dalam QS. Thāhā [20]:

c.       Ḍamīr ghāibah kembali kepada madlūl yang disebutkan secara implisit pada kata sebelumnya. Madlūl yang dimaksudkan di sini adalah mashdar yang dita’wil dari fi’il yang disebutkan sebelumnya. Contoh QS. Al-Maidah [5]: 8;

Rabu, 24 Juli 2024

BAB I (Materi 2) NĀSIKH MANSŪKH DALAM AL-QUR’AN XII AGAMA Sem. 1

 

BAB I

NASIKH  MANSUKH  DALAM AL-QUR’AN


5.      Bentuk-bentuk Nasakh dalam Al-Qur’an

a.       Dari segi bacaan dan hukumnya, ulama mengklasifikasikan nasakh ke dalam tiga bentuk:

1.      Menghapus bacaan dan hukumnya secara bersamaan

Dalam sebuah riwayat yang datangnya dari Aisyah, beliau berkata:

Artinya: “dahulu termasuk ayat al-Qur`an yang pernah dibaca adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah ayat itu dinasakh Rasulullah Saw. wafat.

Imam Malik berkata bahwa sepuluh kali susuan dinasakh dengan lima kali susuan begitu juga bacaannya. Akan tetapi nasakh tersebut terjadi sesaat sebelum nabi wafat. Sehingga sebagian orang masih tetap membacanya. Namun setelah banyak orang tahu bahwa ayat tersebut dinasakh maka mereka tidak membacanya lagi. Sedangkan lima kali susuan hanya dihapus bacaannya, sedangkan hukumnya tetap berlaku.

2.      Mengapus hukum saja sedangkan bacaannya tetap

Seperti hukum wajib bersedekah saat hendak menemui Nabi Muhammad Saw. dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 12;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

Ayat tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗوَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

3.      Mengapus bacaan sedangkan hukumnya tetap

Contoh bentuk nasakh ketiga ini yaitu:

Artinya: “jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”

Diriwayatkan oleh Ibnu Hazim bahwa Ubay bin Ka’b berkata kepada Zirrin bin Hubaisy, “saya pernah membaca surah al-Ahzab bersama Rasulullah Saw. seperti jumlah ayat dalam surah al-Baqarah, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi kemudian banyak yang dihapus hingga menjadi 73 ayat. Di antara ayat yang dihapus adalah tentang rajam (seperti ayat di atas).”

b.      Dilihat dari segi hukum syara’ yang terdapat dalam dalil syar’i, bentuk nasakh dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua;

1.      Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih ringan

Contoh:

Ibnu Jari ̄r al-Thabari berkata bahwa awal mula Islam datang kebanyakan orang berbuka puasa di bulan Ramadhan sampai masuk waktu salat Isya’. Setelah itu mereka diharamkan makan, minum, bersetubuh hingga malam berikutnya. Setelah mereka mengadu kepada Rasulullah Saw., maka turunlah surah QS. Al-Baqarah [2], 187 dan menasakh hukum pertama:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ

Artinya: “dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar

2.      Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang sebanding

Contoh: 

Hukum solat menghadap ke Baitul Maqdis dihapus (nasakh) dengan QS. AlBaqarah [2]: 144;

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”

3.      Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih berat

Contoh:

Pada awal mula Islam datang, perempuan yang terbukti berzina ditahan dalam rumah hingga menemui ajalnya. Hukuman penahanan ini terdapat dalam QS. AnNisa’ [4], 15;

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ، فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang melakukan perbuatan keji dari perempuan-perempuan kalian, hendaklah terhadap mereka ada empat saksi dari kalian (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah bersaksi maka kurunglah perempuan-perempuan itu di dalam rumah sampai ajal menemui mereka atau sampai Allah memberi jalan (yang lain) kepadanya.”

4.      Mengapus (nasakh) hukum tanpa diganti dengan hukum lain

Contoh:

menghapus hukum perintah bersedekah manakala hendak menemui Nabi Muhammad Saw dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 12; 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً ۗ

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

6.  Cara Mengetahui Nasikh dan Mansyukh

Untuk mengetahui nasikh dan mansyukh, al-Zarqāni menjelaskan beberapa cara sebagai berikut:

a.       Harus ada keterangan di antara dua dalil yang menunjukkan ketentuan dalil yang datang kemudian, seperti QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

 

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗوَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Ayat di atas me-naskh ayat sebelumnya, yakni QS. Al-Mujadilah [58]: 12;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةً ۗ

Contoh lain dalam Nabi Muhammad Saw. tentang larangan ziarah kubur yang kemudian dinasakh dengan hukum boleh ziarah kubur;

b.      Harus ada ijma' ulama yang menentukan mana dalil yang datang lebih dahulu dan dalil yang datang kemudian.

c.       Harus ada keterangan yang sah yang menjelaskan dalil mana yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian. Keterangan ini harus bersumber dari data yang valid, seperti riwayat sahabat yang mengatakan “ayat ini diturunkan sebelum ayat ini” atau “ayat ini diturunkan setelah ayat itu,” atau dengan redaksi lain yang menjelaskan waktu turun ayat.

7.      Hikmah Adanya Nāsikh Mansūkh

Di antara hikmah adanya nāsikh mansūkh adalah sebagai berikut:

a.       Meneguhkan keyakinan bahwa Allah Swt. tidak akan terikat dengan ketentuanketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Allah Swt. telah menunjukkan bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak manusia. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah yang Maha menentukan.

b.      Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nāsikh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia.

c.       Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).

d.      Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.

e.       Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.

f.       Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Selasa, 23 Juli 2024

BAB I (Materi 1) NĀSIKH MANSŪKH DALAM AL-QUR’AN XII AGAMA Sem. 1

BAB I

NASIKH MANSUKH  DALAM AL-QUR’AN

 


1.      Pengertian Naskh

Secara Etimologi Secara etimologi nasakh merupakan bentuk masdar dari kata kerja nasakhayansakhu-naskhan yang berarti  أَلإِزَالَة ( menghapus ). Dalam Al-Qur’an kata Nasakh  memiliki beberapa pengertian, di  antaranya adalah al-izālah artinya menghapus, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Ḥaj [22] 52:

فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Nasakh dapat diartikan juga sebagai al-tabdīl (menukar), seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:


وَاِذَا بَدَّلْنَآ اٰيَةً مَّكَانَ اٰيَةٍۙ وَّاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوْٓا اِنَّمَآ اَنْتَ مُفْتَرٍۗ بَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya: “dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” (QS. Al-Naḥl [16], 101.

Selain itu, al-naskhu juga dapat berarti At-Taḥwīl (أَلتَّحْوِيْلَ) artinya “mengubah”,

selain itu juga dapat diartikan sebagai An-Naql (أَلنَّقّلُ) artinya “memindahkan”.

 

2.      Pengertian Naskh secara Terminologi

Menurut al-Zarqāni (w. 1122 H), nasakh secara terminologi memiliki banyak pengertian. Tetapi pengertian yang paling populer dan mendekati kebenaran definisi nasakh adalah:

“mengangkat (menghapus) hukum syar’i dengan dalil syar’i.”

 

Berdasarkan definisi nasakh di atas, dapat kita pahami beberapa hal: 

a.       Nasakh berlaku pada ayat yang mengandung hukum syari’at tidak pada ayat yang menjelaskan hukum akidah.

b.      Dalil yang menasakh (أَنَّاسِخْ)   harus dalil syar’i yaitu Al-Qur’an dan Hadis, bukan dalil aqli (akal).

c.       Dalam nasakh terdapat dua istilah dalil; pertama, dalil hukum syar’i yang menghapus disebut nasikh (أَنَّاسِخْ),kedua, dalil hukum syar’i yang dihapus disebut mansukh  (أَلْمَنْسُوْخْ). Perhatikan contoh berikut:

Artinya: "dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”

Ayat di atas menjelaskan tentang iddah dan nafkah seorang istri yang dicerai mati suaminya berlaku selama satu tahun. Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata bahwa ayat tersebut dinasakah dengan QS: Al-Baqarah [2] 234:

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari…”

3.      Syarat Berlakunya Nasakh

Adapun syarat berlakunya naskh mansukh sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarqāni dalam kitab Manahilu al 'Irfan fi Ulumi al Qur'an adalah sebagai berikut:

a.       Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang berlaku abadi, seperti hukum aqidah;

b.      Dalil yang menasakh ( menghapus ) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli (akal);

c.       Dalil yang menasakh ( menghapus ) datang setelah dalil hukum yang dihapus (tidak datang secara bersamaan); 

d.      Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus) terdapat pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.

4.      Macam-macam Nasakh

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalil syar’i terdiri dari Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian nasakh ada empat macam:

a.       Nasakh Al-Qur`an dengan Al-Qur`an

Syeikh Muhammad Khudhari Beik mengatakan bahwa ulama bersepakat tentang adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat hukum syar’i yang dinasakh dengan ayat lain. Perhatikan contoh berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقَةًۗ

Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin).”

QS. Al-Mujadilah [58]: 12 di atas memerintahkan orang-orang beriman agar memberi sedekah kepada fakir miskin manakala hendak menemui Rasululla Saw. Hukum perintah memberikan sedekah tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ وَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 

b.      Naskh Al-Qur`an dengan Sunnah

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagian ulama mengatakan Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan Sunnah. Sebab mereka menganggap bahwa kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran agama Islam lebih tinggi dari Sunnah. Sedangkan Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas (al-bayān) Al-Qur’an. Semetnara kelompok ulama yang lainnya mengatakan bahwa nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah hukumnya boleh. Argumentasi mereka didasarkan kepada pemahaman bahwa Sunnah sama seperti Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. meski redaski Hadis bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok kedua ini meyakini bahwa praktek nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah terjadi pada QS. Al-Baqarah [2]: 180 tentang kewajiban wasiat kepada orang tua dan kerabat. Menurut pendapat kedua ini ayat tersebut dinasakh dengan hadis:

 

“Sesungguhnya Allah telah memberikan seseorang sesuai dengan haknya, dan tidak ada wasiah bagi ahli waris” (HR. al-Turmudzi)

 

c.       Nasakh Sunnah dengan Al-Qur`an

Hukum yang ditetapkan dengan dalil Sunnah kemudian dinaskh (dihapus) dengan dalil Al-Qur`an.  Contoh: Nabi Muhammad Saw. pernah melakukan salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan. Kemudian Sunnah ini dinasakh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 144;

                        قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”

d.      Naskh sunnah dengan sunnah

Hukum yang ditetapkan dengan Sunnah kemudian dinasakh dengan Sunnah juga. Contohnya: Nabi Muhammad Saw. pernah melarang ziarah kubur. Kemudian hukum larangan tersebut dinasakh menjadi boleh:

“Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarahlah kalian.”